Eclipse
Polytechnic State of Jakarta - Engineering, Heavy Equipment.
Jumat, 19 Agustus 2011
Another Sense for Today
I've been losing you for real. Some people say "Follow your heart, and be careful for keep the heart you've been choose". I'm feel like a blue, heaven watchin' me for a long time by the moon as it smile softly in my space. No exception, people live for a change, a better decision to decide, time to time. I just haven't be ready, time will heal the wound, but love would prevail and most survive. I walk away to excuse all my footsteps, but I can't help memory to remind everything. What the f*ck I've done? I'm bustle.
Rabu, 17 Agustus 2011
Dan Maaf Itu
Maaf telah mengubah putaran jam
Yang berlalu di setiap nestapa
Pembaharuan yang menyiksa waktu
Dan dikala ruang menjadi hampa pada kisah kita
Maaf telah menyapu jejak langkah
Yang digenangi dan tenggelam dalam air mata
Tentu bukan disini porosnya, bukan akal ku
Untuk apa? Mengapa? Siapa?
Maaf untuk sempat merobek dinding cerita
Yang kita goreskan bersama di haluan masa lalu
Entah apa yang ada di baliknya dan seterusnya
Bukan menduga dan tak mau munafik, ini masih terpaut wajah mu
Maaf, kini aku dalam usaha membungkam sejarah
Tanpa harus menyikat kenangan terikat
Yang aku tau dan mau, disana satu
Ini tentang cinta, yang takan ada akhir ceritanya untuk ku tuliskan
Yang berlalu di setiap nestapa
Pembaharuan yang menyiksa waktu
Dan dikala ruang menjadi hampa pada kisah kita
Maaf telah menyapu jejak langkah
Yang digenangi dan tenggelam dalam air mata
Tentu bukan disini porosnya, bukan akal ku
Untuk apa? Mengapa? Siapa?
Maaf untuk sempat merobek dinding cerita
Yang kita goreskan bersama di haluan masa lalu
Entah apa yang ada di baliknya dan seterusnya
Bukan menduga dan tak mau munafik, ini masih terpaut wajah mu
Maaf, kini aku dalam usaha membungkam sejarah
Tanpa harus menyikat kenangan terikat
Yang aku tau dan mau, disana satu
Ini tentang cinta, yang takan ada akhir ceritanya untuk ku tuliskan
Kilau Cakrawala
Biar bulan mengebiri sendunya hingga habis rata airmata. Dan bintang menyaksikan seraya tertawakan dirimu yang disana menjadi sisi lain dalam batin, janganlah riuh sendiri. Meski pilu, bernyanyilah dirangkulan sang bulan. Ia pada janji-janjinya yang dulu mulai ingkar. Entah jiwa yang membentak itu membuatnya lebih lemah dan kecil dalam sanubari. Entah. Lalu ia telusuri semak mawar berduri dan Ia lihat sosok putih itu terbentang memilau cakrawala dari balik rimbun anggrek, tapi terbang bersama malaikatnya. Yang takkan pernah tergapai.
Rekah senja dalam pelukan surya yang ingin menutup diri, yang lama telah bersinar, memanjakan manusia. Itu, dirimu. Fajar terbit dari selongsong barat, menghidupi mata hati. Segera ia bangkit lagi, dari kepiluan yang menyapu bahagia. Biar berlalu dari lintas setia kau dan cincinmu. Ia menghening disampingnya, meski melirik penuh derai luka. Biarkan ia melangkah menelusuri jalan semak temaram membisu. Ia sudah usai mengganggu harimu, kini 'kan dicarinya pondok lain untuk menetap dan menunggu.
Rekah senja dalam pelukan surya yang ingin menutup diri, yang lama telah bersinar, memanjakan manusia. Itu, dirimu. Fajar terbit dari selongsong barat, menghidupi mata hati. Segera ia bangkit lagi, dari kepiluan yang menyapu bahagia. Biar berlalu dari lintas setia kau dan cincinmu. Ia menghening disampingnya, meski melirik penuh derai luka. Biarkan ia melangkah menelusuri jalan semak temaram membisu. Ia sudah usai mengganggu harimu, kini 'kan dicarinya pondok lain untuk menetap dan menunggu.
Itu, Ini, Apa Harapannya?
Langit bersenggama dengan jiwa. Merangkul rindu bersama angin membawanya. Ketika banyak yang merasa sendiri, kan ku sebut itu pesta mati. Dan jiwa-jiwa kelam, mengikuti saran untuk mengakhiri keadaan. Belum bisa, disini masih tersisa. Belum atau tiada usai masih menjadi sebuah tanya. Aku tenggelam dalam resah karena aku merasa bersalah. Takan kusesali, takan pernah. Meski ku harus merangkaki luka demi kata yang masih kau dekap; Maaf. Entah, kapan kau rekahkan kata itu. Aku tunggu sampai tangisku memecah sukma. Aku tunggu sampai sedihku mengganggu surya. Rambahlah jiwaku, buang duka yang ku simpan. Aku, akan menunggu.
Entah Apa
Dengarkanlah kasih, aku dalam keraguan
Aku jatuh dalam keheningan yang menerpa jauh ke dalam angan
Aku termanggu sejenak untuk bertanya pada jiwa
"Haruskah aku menunggu bulan itu melepas langitnya? Atau kah aku harus mencari bulan tanpa langit untuk menemani langitku dalam galaksi baru?"
Aku belum menjumpa satu pun jawaban, aku lelah untuk mencari arti
Aku larut dalam kesepian, aku tak dapat menhujam batas
Aku minor, kau dera jiwa tak hentinya
Harus kah ku bui peduliku? Haruskah ku sangkarkan kasihku?
Ku menanti senyum pelepas rindu, yang 'kan datang untuk memelukku
Menatapku akan sepercik kebahagiaan
Aku jatuh dalam keheningan yang menerpa jauh ke dalam angan
Aku termanggu sejenak untuk bertanya pada jiwa
"Haruskah aku menunggu bulan itu melepas langitnya? Atau kah aku harus mencari bulan tanpa langit untuk menemani langitku dalam galaksi baru?"
Aku belum menjumpa satu pun jawaban, aku lelah untuk mencari arti
Aku larut dalam kesepian, aku tak dapat menhujam batas
Aku minor, kau dera jiwa tak hentinya
Harus kah ku bui peduliku? Haruskah ku sangkarkan kasihku?
Ku menanti senyum pelepas rindu, yang 'kan datang untuk memelukku
Menatapku akan sepercik kebahagiaan
Membusuk Lalu Ia Mati
Di sudut Ia membusuk, merintih sendiri.
Lepaskan jiwanya sejenak, terhempas meski sementara.
Biar Ia rasakan dulu sejuta luka, menyimpan beberapa rasa, yang akan disandiwarakan ribuan tahun.
Demi dirinya dan tawa.
Ia rela, meski membuat sedikit buta.
Ia lalui hampa, dan terus menerpa hatinya.Ia membungkam duka, jauh dalam duka dalam duka.... Disinggunglah jiwanya, yang menghentak pada semilir rindu pinggir pantai, dengan lagu yang teriris perih.
Ia lanjutkan petualangan pada sumpahnya yang lalu.
Disandung gempita malam, dibawah tudung senja, dirinya bersembah diri merintih kesendirian.
Melutut luka, Ia merasa seperti sampah terbuang.
Bingung, terus menerka-nerka apa yang 'kan Ia gapai.
Lalu hilang di keheningan fajar merah merekah.
Sendu dalam dan pilu menusuk tulang yang semakin terasa remuk. Dingin.
Selasa, 16 Agustus 2011
Satu Rapuh
Di jembatan sunyi, penelaah kesepian telah menanti rapuhnya
Seperti daun tua yang menguning dan kelak 'kan jatuh pada waktunya
Pada hujung kerongkongannya yang mendesah perih
Dikala jatuhnya air mata ke lapis bibirnya yang kering
Ia mengaku akan sebuah kekalahan hidup yang nelangsa
Secerca harapan yang kandas di depan tulang keringnya yang abu
Terbawa angin membubuh luka
Pada kumpulan tembakau terakhir ia teriak kenaifan
Matanya sayu, pelipis berselimut darah dan debu
Ia lupa bagaimana rasanya bahagia
Dingin, ia menggigil kedinginan
Malam mengakar pada celoteh riak air sungai
Cahaya memudar, tiada lagi pemberhentian, tiada lagi yang hadir pula
Ia hilang lalu dalam buih yang dalam
Seperti daun tua yang menguning dan kelak 'kan jatuh pada waktunya
Pada hujung kerongkongannya yang mendesah perih
Dikala jatuhnya air mata ke lapis bibirnya yang kering
Ia mengaku akan sebuah kekalahan hidup yang nelangsa
Secerca harapan yang kandas di depan tulang keringnya yang abu
Terbawa angin membubuh luka
Pada kumpulan tembakau terakhir ia teriak kenaifan
Matanya sayu, pelipis berselimut darah dan debu
Ia lupa bagaimana rasanya bahagia
Dingin, ia menggigil kedinginan
Malam mengakar pada celoteh riak air sungai
Cahaya memudar, tiada lagi pemberhentian, tiada lagi yang hadir pula
Ia hilang lalu dalam buih yang dalam
Langganan:
Postingan (Atom)